Navigation Menu

My Profile

Nama : Usman Jayadi, S.Pd
Tempat dan Tanggal Lahir : Batunyala, 22 Juli 1987
Agama : Islam
Istri : Laeli Astuti Muslim
Anak : Fahima Alfirya

Riwayat Pendidikan

Selamat Tahun Baru Hambaku

Banyak diantara mereka yang mengharamkannya
Tidak semua orang gembira menyambutnya
Sebagian kecil orang yang menghalalkannya
Hampir semua orang mengagungkan dan menanti kehadirannya

Padahal,
Fenomenanya bak sebuah pintu untuk dibuka
Ibaratnya tamu yang baru berkunjung malu ke rumah sahabatnya
Misalkan buku dengan sampul mewah, namun isinya belum diketahui baik buruknya

Memang,
Menurut sejarah haramnya didasarkan pada sebuah rekayasa
Menurut aturan menggembirakannya pun sah-sah saja
Menurut kajian halalnya pun tidak perlu difatwakan
yang terpenting, pemaknaannya untuk kebaikan kehidupan

Yang mengharamkan, kan tetap mengacu padanya
Yang menggembirakan, pastinya diguyur hujan dan subuhnya kesiangan
Yang menghalalkan, do'a dan harapan disusun begitu rapi menyongsongnya
dan, yang mengagungkan dan menantikannya,
ada rencana besar untuk segera disiapkan

Sejatinya kita saksikan
Di luar sana Perayaannya sungguh berlebihan, dan wajar untuk diharamkan
Namun, jika dipestakan dengan bakar ikan,
kemudian santap malam bersama yang dicinta itu sah-sah saja
Apalagi, Jika peringatannya diiringi muhasabah untuk perenungan
akan jauh lebih halal dan penuh keberkahan.

Yang Mengharamkan,
Yang Menghalalkan,
Yang Membolehkan
Usahlah didebatkan
Karena Orang-orang berilmu dulunya pun tidak pernah mempermasalahkan

Yang terpenting bagi kita hari ini adalah
semoga Tuhan mengucapkan "Selamat Tahun Baru Hambaku" untuk kita
dan, sumpah-Nya dengan "Waktu" kita renungkan untuk
menapaki kehidupan bersama-Nya dalam cahaya cinta dan Rahman Rahim-Nya.

Faidza faraghta fanshab
Wa ilaa Rabbika farghab!
Jika Satu urusan telah diselesaikan, Maka Selesaikanlah urusan yang lain dengan sungguh-sungguh
Dan, hanya kepada-Nyalah kita semua berharap!

(Mataram, 1 Januari 2015)

MENYONGSONG HIJRIYAH, MENGENANG SEJARAH

MENYONGSONG HIJRIYAH, MENGENANG SEJARAH
oleh : Usman Jayadi
Pengertian hijrah menurut bahasa/etimologi adalah berpindah dari tempat yang satu ke tempat berikutnya. Sedangkan  menurut arti istilah/terminologi adalah berpindah dari satu medan juang yang sempit (karena terdesak oleh situasi keamanan yang tidak kondusif) menuju ke arena yang lebih luas dan memberikan harapan di masa mendatang, di mana  hal ini merupakan suatu taktik dan strategi dalam perjuangan untuk menyampaikan risalah/dakwah Islamiyah.
HAKIKAT HIJRAH NABI
Banyak komentar tentang hal ini dari kalangan ilmuan Barat, bahwa hijrahnya Nabi Muhammad itu adalah sebagai usaha to be differentmen(mengubah dari wajah seorang guru agama di Mekkah menjadi kepala suku di Madinah). Adalagi yang memandangnya sebagaitransfiguration (penanjakan pribadi Muhammad) atau sebagai geographical emigration (perpindahan tempat untuk berdakwah). Bahkan ada pula yang dengan nada ‘sinis’ mengatakan bahwa  hijrah ini adalah flaight or own flaight (lari atau melarikan diri). Dan masih banyak lagi komentar tentang hijrahnya Rasulullah tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang yang tidak senang dengan perjuangan beliau.
Syekh Muhammad Syaltut (mantan rektor Universitas al-Azhar Kairo) mengatakan bahwa hijrahnya Rasulullah beserta para sahabatnya itu bukanlah upaya lari untuk menyelamatkan diri dan bukan pula karena tidak mampu menghadapi kekuatan musuh yang besar atau untuk mencari serta menumpuk kekayaan dan mengejar kedudukan dan kekuasaan, tetapi hijrah ini mereka lakukan sebagai  kelanjutan dari hijrah nurani/hijrah qalbiyah untuk mempertahankan ideologi dalam rangka menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan akhlaqul karimah serta menghancurkan kebatilan.

Senada dengan pendapat ini adalah apa yang dikemukakan Dr. Muhammad al-Fahlan yang mengatakan bahwa hijrah Nabi bukan melarikan diri dari medan juang, dan bukan pula semata berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain, tetapi beliau berpindah menjauhkan diri dari bumi yang penuh kemusyrikan, bumi yang diperintah oleh kejahilan, kejahatan, dan kekejaman, menuju suatu tempat/bumi yang akan memancarkan sinar kebenaran, sinar keimanan, suatu upaya revolusioner untuk menebar cahaya iman untuk menerangi kegelapan jiwa, memberantas segenap kekejaman dan kezaliman.

HIJRAH DALAM AL-QUR’AN

Dalam Al-Qur’an tidak kurang dari tigapuluh ayat yang menyebut kata hijrah. Ayat-ayat tersebut menjelaskan dan menafsirkan makna hijrah itu sendiri sebagai sebuah solusi terakhir yang harus dilakukan manakala tidak lagi ditemukan cara atau jalan lain untuk melanjutkan misi dakwah dan atau mempertahankan keimanan. Hijrah dilakukan harus dengan penuh perhitungan, tidak hanya semata-mata karena terdesak situasi daerah yang akan ditinggalkan, akan tetapi daerah yang menjadi tujuan juga haruslah daerah yang memberikan harapan bagi cita-cita dan perjuangan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya 14 abad silam.

Dalam Al-Qur’an, Allah memberi jaminan dan janji baik bagi mereka-mereka  yang melakukan hijrah itu dengan ampunan dan syurga. Allah berfirman: “Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti  pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya ... “ (Q.S. Ali Imran: 195).

Dalam surat an-Nahl: 41, Allah swt. berfirman:
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengatahui.”

Dalam ayat 110 surat yang sama  disebutkan pula: “Dan sesungguhnya Tuhanmu (Pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar, sesungguhnya Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat-ayat di atas telah menjelaskan sebab-sebab dan motivasi  hijrah. Dari ayat-ayat tersebut ditandaskan dengan jelas beberapa unsur dan kondisi yang memungkinkan atau memperbolehkan kita untuk hijrah. Unsur-unsur tersebut antara lain;  unsur pengusiran; unsur penyiksaan; unsur penganiayaan; dan unsur fitnahan.

Tindak kekejaman yang dilakukan rezim Quraisy  di Mekkah dan para Kuffar di sekitarnya telah mencapai puncak dan melewat batas toleransi; yakni terancamnya ketenteraman rohani dan jasmani. Maka pada kondisi inilah perintah hijrah turun kepada Nabi saw. Dengan kata lain, apabila seseorang tidak lagi memperoleh kebebasan, tidak lagi merdeka atau leluasa dalam menyebarkan dan mengmebangkan syariat Islam di mana ia berada, maka barulah hijrah itu boleh dilakukan.

Dalam menghindari siksaan, penganiayaan, dan fitnahan dalam menyebarkan dakwah islamiyah di Mekka Rasulullah juga pernah mengajak para sahabat  untuk hijrah ke negeri Habasyah dan ke Thaif. Walaupun banyak halangan dan rintangan dalam menjalankan dakwahnya, Rasulullah tetap tidak pernah berhenti, bahkan kobaran semangat juangnya itu ikut tumbuh membara di dada para sahabat. Hal ini dapat dilihat ketika upaya tekanan dari masyarakat Mekkah semakin kuat, para sahabat secara diam-diam memperkenalkan Islam  kepada orang-orang Yastrib.  Seorang da’i muda bernama Mus’ab bin Umair dikirim untuk mendampingi para sahabat itu. Dan dari sinilah akhirnya peduduk Madinah berduyun-duyun memeluk agama Islam.

ASPEK RUHANIAH DALAM PERISTIWA HIJRAH 
Tahap demi tahap perkembangan situasi orang-orang Madinah ini lebih tampak dan jelas  memberikan sambutan dengan lebih cepatnya mereka itu menerima ajaran Islam, sehingga hanya dalam kurun beberapa tahun saja (pada tahun 622 M) terwujudlah suatu perjanjian antara Nabi beserta para sahabatnya  di Mekkah dengan Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj, di mana kedua belah pihak berjanji akan saling membela jiika ada penyerangan  dari pihak luar, dan akan membagi suka dan duka. Perjanjian yang dibuat secara rahasia ini  akhirnya sampai juga ke telinga orang-orang Quraisy. Akibatnya, orang-orang Yastrib yang datang ke Mekkah terus ditangkapi dan disiksa. Dan terhadap Nabi beserta sahabat-sahabatnya diteror terus menerus, baik secara fisik maupun mental. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran orang Quraisy jika nantinya perjanjian antara Nabi dan penduduk Yastrib tersebut betul-betul berjalan secara efektif, yang tentunya akan merugikan kelompok Quraisy secara politis.
Pada hakikatnya, Rasulullah beserta para sahabatnya sebelum melakukan hijrah fisik, beliau telah berulang kali melaksanakan hijrah qalbiyah, yaitu menjauhkan diri dari suasana kemusyrikan yang melanda masyarakat ketika itu. Mereka menjauhkan diri agar tidak terpengaruh dari suasana yang menyesatkan, dari tingkah laku kotor dan tekanan serta intimidasi. Dengan cara-cara seperti tadi, mental para sahabat dapat bertahan dan menjadi kuat, menjadi gigih dalam berjuang dan semakin teguh pendiriannya.
Oleh karena itulah, tetkala mereka harus benar-benar melakukan hijrah fisik, hati mereka tidak lagi merasa bimbang, karena hal demikian bukanlah berarti lari menyelamatkan diri, bukan pula karena takut dalam menghadapi musuh, tetapi mereka hijrah untuk mempertahankan perjuangan, untuk menyampaikan risalah islamiyah. Mereka hijrah melanjutkan hijrah qalbiyah yang sebelumnya telah pernah mereka lakukan dan sekaligus sebagai bentuk realisasi untuk menengakkan kebenaran dan melaksanakan akhlaq yang luhur.
Setelah sampai di Madinah, ada tiga aspek pokok yang dilakuan Rasulullah dalam rangka membangun tatanan masyarakat baru, yaitu;
  1. Iqamat sya’airul Islam, yakni menegakkan syi’ar agama Islam. Sebagai langkah yang dilakukan Nabi ini adalah mendirikan masjid Quba sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat mengatur dan menkoordinir kegiatan-kegiatan lainnya.
  2. Membangun ekonomi Islam dengan mepererat persaudaraan seagama atau dikenal dengan nistilah mu’akhah al-islamiyah. Kehidupan ekonomi yang tadinya serba egois, kapitalis, diganti dengan ekonomi persaudaraan yang didasari oleh semangat sosial ukhuwah Islamiyah.  Pedagang Muhajirin yang datangnya dari Mekkah disatukan dengan petani-petani Anshor Madinah untuk menegakkan susunan baru bagi tatanan perekonomian menurut ajaran Islam.
  3. Menetapkan peraturan-peraturan dasar negara yang disabut Kitabun Nabi atau piagam tertulis dari Nabi. Para sarjana Barat menyebut piagam ini sebagai Constitution of Madina (konstitusi Madinah). Piagam inilah yang dianggap sebagai  First constitution of Islam(Undang-undang negara Islam yang pertama) atau the First Written Constitution on the World (konstitusi pertama di dunia)
Lombok Post, 2012 & 2014

MUNCULNYA ASHABIYYAH JAHILIYYAH MASA KINI

MUNCULNYA ASHABIYYAH JAHILIYYAH MASA KINI
Oleh : Usman Jayadi


Islam datang ke muka bumi ini dengan ajaran-ajaran Illahi yang mengarahkan manusia seluruhnya kepada kehidupan yang ideal, yaitu kehidupan yang paling sempurna, sejauh yang dapat dicapai oleh manusia di muka bumi ini, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun dalam kehidupan sosial, demi kebahagiaan manusia itu sendiri di dunia dan di akhirat.

Ketika agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. untuk pertama kalinya datang di Makkah, Jazirah Arab, abad VI M, maka banyak aspek kehidupan masyarakat Arab ketika itu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam pembawa rahmatan lil alamin itu. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah faham syirik dalam bidang akidah dan ibadat, pandangan hidup yang materialistis, perbudakan dan fanatisme kesukuan dalam bidang sosial.
Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah saw. telah berhasil menumpas penyakit-penyakit syirik, pandangan hidup materialistik, perebudakan, dan fanatsime kesusukan, serta penyakit-penyakit kemasyarakatan lainnya dalam waktu yang relatif singkat, berkat dakwahnya yang berlandaskan tauhid dan keteladanan akhlaqul karimah.
Penyakit sosial berupa fanatisme kesukuan, dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah ashabiyyah jahiliyyah. Akhir-akhir ini, ‘ashabiyyah jahiliiyah atau fanatisme kesukuan kembali muncul dan memerlukan penangan serius dari semua pihak. Fanatisme kesukuan ditandai oleh tiga hal. Pertama; seseorang merasa berkewajiban untuk membela warga kelompoknya atau sukunya, sekalipun warga yang bersangkutan berada di pihak yang salah. Warga yang bersangkutan merasa berhak mendapat bantuan dari warga yang lain, walaupun ia telah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran dan rasa keadilan. Kedua, seseorang merasa berkewajiban menolong sesama anggota sukunya yang sedan gmenalami kesulitan atau menghadapi suatu masalah, dengan cara apapun, sekalipun cara yang ditempuhnya bertentngan dengna peraturan dan hukum yang berlaku atau illegal. Bahkan ‘ashabiyyah pada zaman jahiliyyah dahulu seringkali membuat seseorang merasa bangga yang berlebihan dengan kelompok atau sukunya, sehingga memandang rendah kelompok atau suku yang lain.
Rasulullah saw. melihat bahwa ‘ashabiyyah jahiliyyah atau fanatisme kesukuan telah embawa akibat yang buruk dan kerugian yang besar bagi masyarakat luas. Karena itu beliau sejak awal berketatapan hati untuk memberantasnya, sebagaimana sabdanya antara lain:
“Buanglah jauh-jauh fanatisme jahiliyyah”.
“Orang yang suka menghembus-hembuskan fanatisme jahiliyyah bukanlah ia dari golongan kita, kaum muslimin”.
Fanatisme kesukuan dalam sejarahnya ternyata telah mendatangkan banyak bencana dan kerugian moral maupun material di kalangan warga masyarakat jazirah Arab, yang ketika itu memang teridir dari banyak kabilah atau suku-suku. Kerugian-kerugian tersebut antara lain adalah:
Pertama, ashabiyyah jahiliyyah telah banyak menimbulkan pertentangan, pertengkaran, dan bentrokan fisik antar kelompok kecil maupun antar kelompok besar yang disebut kabilah. Bahkan, tidak jarang terjdi peperangan antara satu kabilan dengan kabilah tetangganya, gara-gara sebab yang sepele, dan setelah diteliti ternyata akar permasalahannya bersuber dari ashabiyyah jahiliyyah itu.
Kedua, ashabiyyah jahiliyah telah menimbulkan persekongkolan dalam kezhaliman yang acapkali menimbulkan lenyapnya hak-hak pihak lain dan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
Ketiga, ‘ashabiyyah jahiliyyah telah mengakibatkan meluasnya tindakan-tindakan kriminal semisal pembunuhan, pencurian, penggelapan milik orang lain, dan teror yang pada gilirannya akan menumbuhsuburkan tindakan-tindakan balas dendam dari pihak yang sebelumnya merasa dirugikan.
Keempat, ashabiyyah jahiliyah telah menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan di kalangan warga masyarakat jazirah Arab secara keseluruhan. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan para penguasa setempat tidak berwibawa dan tidak berdaya dalam menegakkan peraturan dan melaksanakan undang-undang. Akibat paling buruk adalah meluasnya anarkisme di masyarakat luas.
Bagaimana upaya yang dilakukan Rasulullah saw untuk memberantas ‘ashabiyyah jahiliyyah pada masanya, kiranya dapat dijadikan contoh dalam memberantas ‘ashabiyyah jahiliyyah pada abad ini.
Rasulullah mengkampanyekan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang persamaan dan persaudaraan yang lebih luas, yaitu persaudaraan Islam (ukhuwwah islamiyyah), bahkan persaudaraan sesama ummat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, suku bangsa dan daerah asal. Ketika seorang sahabat bernama Abu Dzar al-Ghihfari memanggil seseorang: “wahai orang hitam,” Nabi saw mendadak berubah raut mukanya seraya berkata kepada Abu Dzar: “Abu Dzar, ternyata engkau masih memiliki sifat jahiliyyah”.
Langkah-langkah lain dengan pendekatan sosial yang konkrit pun dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka memberantas ashabiyyah ini. Misalnya melalui pemberian zakat, shadaqah dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang dilakukan kaum Muslimin yang mampu kepada kaum muslimin yang tidak mampu dan memerlukan bantuan. Dengan demikian, warga masyarakat semuanya merasa diperlakukan secara adil.
Keberhasilan Rasulullah dalam mempersatukan kabilah-kabilah Arab dalam persaudaraan seagama dan kemanusiaan merupakan nikmat yang tiada taranya dari Allah swt., sebagaimana dalam firman-Nya:
“Berpeganglah kamu kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (pada masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu kam karena nikmat Allah menjadi orang-orang yang bersaudara, dan kamu pernah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran ayat 103)
Dengan demikian, kaum muslimin menjadi ummat yang bersatu, dan bukan saja pandai memberi perlindungan kepada sesama muslim, tetapi juga kepada non-muslim yang ingin bekerja sama dengan baik dengan kaum Muslimin, seperti dalam sabda Rasulullah saw.:
“Kaum Muslimin sama antara seorang dengan yang lain dan bahkan mereka memberikan perlindungan keamanan kepada pihak non Muslim sekalipun. Kaum Muslimin itu adalah merupakan satu barisan yang kokoh dalam menghadapi pihak lain”.
Karena memiliki kelebihan seperti itu, maka Allah memuji ummat Islam, dalam firman-Nya:
“Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran ayat 110)
Demikianlah, ashabiyyah jahiliyyah yang sempat meluas pada zaman jahiliyyah dan awal Islam, tetapi telah berhasil dikikis habis oleh Rasulullah saw. 14 abad yang lalu. Kini, ashabiyyah ini mucul kembali pada melinium II dewasa ini di banyak tempat, di kota dan di desa, di kalangan masyarakat muslim maupun bukan muslim. Dengan berkaca kepada apa yang telah dilakuan oleh Rasulullah saw. bersama sahabatnya dahulu dalam menanggulangi wabah ashabiyyah atau fanatisme kesukuan tersebut, mari kita bersama-sama menanggulangi penyakit sosial ini. Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah swt. lahir batin dalam upaya menciptakan masyarakat yang dipenuhi semangat ukhuwwah islamiyah yang mampu membuat seluruh kaum Muslimin menjadi satu keluarga besar yang kokoh, kuat, dan penuh toleransi pula terhadap ummat lain. Amin.

Lombok Post, 2012

Keteladanan adalah Bagian dari Pendidikan Karakter

“KETELADANAN” ADALAH BAGIAN DARI PENDIDIKAN BERKARAKTER
oleh : Usman Jayadi

Masalah pendidikan, adalah masalah yang selalu hangat untuk dibicarakan di belahan dunia, baik oleh bangsa yang sudah maju maupun oleh bangsa yang belum maju, karena maju-mundurnya suatu bangsa, atau corak dan karakter suatu bangsa tergantung dari sistem pendidikan yang dilakukan bangsa itu.

Semua agama sangat peduli terhadap masalah pendidikan manusia, bahkan menganjurkan pengikutnya untuk melaksanakan pendidikan kepada manusia sejak ia lahir sampai meninggalkan dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian ibu sampai ke liang lahat”

Sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw. dalam waktu kurang dari seperempat abad telah berhasil secara gemilang mendidik bangsa Arab dari bangsa yang musyrik menjadi bangsa yang bertauhid, dari bangsa yang beringas menjadi bangsa yang lemah lembut, dari bangsa yang kurang berperadaban menjadi bangsa yang berperadaban, dari bangsa yang gemar bermusuhan menjadi bangsa yang cinta damai, dari bangsa yang pasif menjadi bangsa yang aktif. Sikap ini digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Dulu kamu berada di tepi jurang neraka, akhirnya Islam (Muhammad) dapat menyelamatkanmu dari bahaya itu”. (QS. Ali Imran ayat 103)

Dan akhirnya mereka dalam sekejap, menjadi pemimpin dunia, disegani oleh manusia di belahan timur maupun di belahan barat. Keadaan ini diakui oleh al-Qur’an sebagai berikut:
“Kamu semua adalah ummat terbaik yang ditampilkan kepada manusia untuk menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran”. (QS. Ali Imran ayat 110)

Melihat keberhasilan Rasulullah ini, tentu kita semua ingin tahu, kiat apa yang dimiliki Rasul sehingga dalam waktu singkat beliau berhasil dengan gemilang  mendidik dan merubah watak manusia seperti di atas?

Bila kita mengulas sejarah perjalanan Rasulillah saw. maka dapat kita tangkap bahwa banyak faktor yang membuat Rasul berhasil dalam mendidik kaumnya menjadi bangsa yang layak menjadi teladan bagi bangsa-bangsa  lain. Namun faktor yang paling penting adalah faktorketeladanan dengan akhlak mulia, di mana Rasulullah saw. dalam mendidik kaumnya selalu menggunakan pendekatan akhlak yang mulia. Di antara akhlak Rasul yang mulia itu adalah, sikap shidiq (benar), amanah (jujur), shabar (tabah), dan rahmah (kasih sayang).

Pertama akhlak shidiq dan amanah.
Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya kaum Quraisy pada saat peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad, bila tidak ada seorang pemuda yang cerdas dan jujur yang bernama Muhammad dalam bertindak dan bersikap, sehingga pertumpahan darah yang nyaris terjadi bisa dihindari, bahkan semua pihak merasa puas dengan tindakannya itu. Kalau saja Muhammad seorang yang ambisius dan tidak tahu amanah, tentu masalah itu akan beres, cukup dengan mengangkat Hajar Aswad itu oleh tangannya sendiri. Tapi Muhammad bukanlah seorang yang suka menggunakan aji mumpung, mumpung dipercaya, maka semuanya dikerjakan sendiri. Sikap amanah ini  tentu bardampak positif kepada sahabat-sahabat pengikutnya dalam melaksanakan tugas kekhilafahan. Beliau mengidentikkan orang yang tidak bersikap amanah dengan orang yang tidak beragama: “Tidak ada agamanya bagi orang yang tidak berlaku amanah”.

Kedua , akhlak shabar.
Kalau kita mencari padanan manusia yang memiliki sifat sabar seperti Muhammad saw. pasti tidak akan menemukannya kendati dibandingkan dengan seorang Nabi Ayyub as. Beberapa peristiwa menunjukkan betapa besar kesabaran dan ketabahan Muhammad saw. ketika beliau menghadapi kaumnya yang keras kepala, enggan diajak kepada jalan yang benar. Bagaimana tabahnya Muhammad ketika datang ke penduduk Taif untuk mengajak mereka bertauhid, hanya menyembah Allah, namun mereka menyambutnya dengan cercaan, bahkan mengusir kembali Muhammad beserta sahabatnya dengan tindakan yang tidak manusiawi. Bahkan perlakuan mereka kepada Muhammad saw. dan para sahabatnya (menurut suatu riwayat) membuat malaikat Jibril geregetan sambil menawarkan jasa kepada Muhammad. Hai Muhammad ! Katakanlah kepadaku, apa yang kau inginkan dari  tindakan mereka itu ? Andai kau suruh aku membalikkan gunung itu untuk mengubur mereka hidup-hidup, aku siap melaksanakannya. Namun dengan senyum Muhammad menjawab: “Tidak”, biarkan mereka, kemudian berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk kaumku, sebab mereka tidak mengerti”.

Ketiga, sifat rahmah (kasih sayang) .
Kiat ketiga yang dimiliki Rasulullah saw. sehingga beliau berhasil dalam mendidik ummatnya adalah sifat rahmah (kasih sayang) yang selalu menghiasi segala sepak terjangnya. Sifat kasih sayang yang dimiliki Rasul memang sudah dibentuk oleh Allah Swt. dalam dirinya dengan cara alamiah melalui keberadaannya yang yatim sejak ia lahir. Dengan keadaan yatim sejak lahir, beliau sudah ditempa untuk hidup mandiri dan merasakan bagaimana rasanya seorang anak yang tidak mempunyai tempat pengaduan urusan hidupnya, sehingga di kala teman-temannya yang lain mengaduh “hai Bapak”, beliau hanya bisa mengadu “wahai Tuhanku”. Dari situlah tumbuh sifat kasih sayangnya kepada orang lain, karena beliau sendiri merasakan bagaimana rasanya bila dikasihi dan disayangi orang lain.
Betapa kasih sayangnya Rasul kepada ummatnya, ketika datang seorang pemuda meminta izin kepada beliau untuk berzina. Ia elus-elus pemuda itu dengan penuh kasih sayang kebapaan, sambil menyentuh perasaannya. Beliau katakan kepadanya: Anakku, relakah manakala perzinahan itu menimpa ibumu? bibimu? saudarimu? anakmu? dan seterusnya. Seketika itu pula pemuda itu menangis dan mohon ampun.

Betapa besar kasih sayang Rasul kepada ummatnya ketika beliau dan para sahabatnya berhasil merebut kota Mekah sementara orang-orang kafir Quraisy tidak mempunyai kemampuan untuk melawan, beliau tidak mengadakan balas dendam kepada mereka yang telah menyakiti dan mengusirnya. Bahkan ketika orang-orang kafir itu bertanya-tanya, balasan apa yang akan mereka terima dari orang yang telah diusir dan disakitinya? Beliau mengatakan: “Pergilah kalian semua, karena kalian bebas”.

Itulah Muhammad seorang Rasul yang luar biasa kasih sayangnya, beliau bukan seorang yang pendendam, bukan seorang yang otoriter dan sombong, padahal segala keputusan pada saat itu ada di tangannya. Dia tahu persis siapa yang mengusirnya dulu, siapa yang berperan aktif di dalam perang Badar, siapa yang memukulnya, dan membunuh pamannya Hamzah pada perang Uhud, dan tokoh-tokoh kafir Quraisy yang berperan dalam peperangan lainnya. Namun seperti kita saksikan dalam sejarah sikap kasih sayang yang beliau tunjukkan itu, dampak positifnya luar biasa terhadap perkembangan Islam dam sikap kaum maslimin pengikutnya.

Itulah sentuhan-sentuhan kasih sayang yang diperlihatkan Rasulullah saw. dalam mendidik ummatnya untuk menjadi umat yang terbaik, yang layak memimpin dunia. Dan memang dunia ini hanya layak dikelola dan diwarisi oleh orang-orang yang baik.

Inti dari sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah saw. dalam mendidik ummatnya adalah keteladan yang ada pada diri beliau. Beliau adalah figur keteladanan yang paripurna bagi semua manusia. Di dalam kepribadian beliau terkumpul seluruh asfek keutamaan pribadi manusia yang agung. Namun demikian, dengan kesempurnaan yang dimiliki, bukan berarti beliau hanya sebagai tokoh dalam bayangan yang tidak bisa diteladani. Justru beliau merupakan teladan bagi siapa saja. Beliau adalah sosok remaja yang berkualitas, suami yang bertanggung jawab, bapak yang penuh kasih, pemimpin yang adil, panglima perang yang tangguh, ahli strategi yang canggih, pedagang yang ulung dan jujur, pemikir yang brilian, dan pendidik yang bijak.

Dewasa ini, keteladanan sudah sangat langka kita jumpai pada diri mereka yang selayaknya menjadi contoh bagi orang lain. Tidak sedikit guru yang mestinya menjadi orang yang digugu dan ditiru, tapi sikap perbuatannya bahkan menjadi membuat bingung murid-muridnya. Para pemimpin formal maupun nonformal yang mestinya menjadi panutan ummat, namun sebaliknya mereka bahkan menjadi buah obrolan negatif di setiap kerumunan mereka. Para penegak hukum yang diharapkan menjadi tumpuan para pencari keadilan, tapi justru mereka menjauhinya dan mencarinya di jalanan bersama para demonstran. Para orang tua yang seharusnya menjadi tempat pengaduan berbagai masalah putra putrinya, justru mereka menghindar dan mengadukan segala permasalahnnya kepada pak ganja, pak ektasi, pak nipam, dan pak-pak narkoba lainnya.

Tiada lain, ini semua adalah akibat krisis yang akut dalam keteladanan dari semua pihak yang mestinya menjadi teladan. Oleh karena itu, mari kita semua, apakah sebagai pendidik, sebagai pemimpin, sebagai orang tua, atau sebagai apa saja, kita tunjukkan keteladan kita kepada orang yang mengharap keteladan dari kita, dengan berpedoman kepada keteladan yang ditunjukkan Rasulullah saw. kepada ummatnya.

Pendidikan karakter bukan merupakan mata pelajaran atau nilai yang diajarkan, tetapi lebih kepada upaya penanaman nilai-nilai baik melalui semua mata pelajaran, program pengembangan diri, dan budaya sekolah. Peta nilai yang disajikan dalam naskah ini merupakan contoh penyebaran nilai yang dapat dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran, sesuai dengan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang terdapat dalam standar isi (SI); melalui program pengembangan diri, seperti kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan, pengkondisian. Perencanaan pengembangan Pendidikan Karakter ini perlu dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di sekolah yang secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik.

Fungsi Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan, memperkuat potensi pribadi, dan menyaring pengaruh dari luar yang akhirnya dapat membentuk karakter peserta didik yang dapat mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Upaya pembentukan karakter dilakukan melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran dan kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas serta luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab dan sebagainya, dimulai dari keluarga dan diperkuat di sekolah dan masyarakat. Pendidikan karakter dapat berkembang dengan baik melalui budaya sekolah yang mendukung. Pembentukan budaya sekolah (school culture) dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan: perencanaan, pelaksanaan pembelajaran yang lebih berorientasi pada peserta didik, dan penilaian yang bersifat komprehensif. 
Pendidikan karakter dapat berkembang dengan baik melalui budaya sekolah yang mendukung. Pembentukan budaya sekolah (school culture) dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan: perencanaan, pelaksanaan pembelajaran yang lebih berorientasi pada peserta didik, dan penilaian yang bersifat komprehensif.

Perencanaan di tingkat sekolah adalah melakukan penguatan dalam penyusunan kurikulum di tingkat sekolah (KTSP), seperti menetapkan visi, misi, tujuan, struktur kurikulum, kalender akademik, penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Keseluruhan perencanaan sekolah yang bertitik tolak dari melakukan analisis kekuatan dan kebutuhan sekolah akan dapat dihasilkan program pendidikan yang lebih terarah yang tidak semata-mata berupa penguatan ranah pengetahuan dan keterampilan melainkan juga sikap prilaku yang akhirnya dapat membentuk ahklak budi luhur.

Mudah-mudahan tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita dalam memajukan anak bangsa yang berkarakter mulia, menjadi tauladan dalam setiap jiwa yang merindukan gemilangnya masa depan bangsa dan Negara tercinta. Amin!

Kepustakaan
-          Al Qur’anulkariim
-          Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haikal
-          Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional
-          Kemdiknas. (2010). Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta.
-          Kemdiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter (hal. 8-9). Jakarta.
-          Referensi lainnya

(Dimuat 2 hari di Lombok Post, 2012)

Matematika Manusia

MATEMATIKA MANUSIA
Oleh : Usman Jayadi

TULISAN ini terinspirasi dari banyaknya etika kita selaku manusia yang seharusnya segera dimusnahkan. Kehidupan kita di muka bumi ini lazimnya harus penuh dengan perjuangan, jika kita menginginkan kehidupan yang baik dan sejahtera. Perjuangan yang dimaksud di sini adalah bukan perjuangan menggunakan senjata seperti para pahlawan, melainkan perjuangan yang di dalamnya penuh dengan toleransi. Akan tetapi, jika kita terus-menerus berjuang sementara kita melupakan diri kita sendiri, maka perjuangan yang kita lakukan tersebut sia-sia belaka.

Hemat saya, sebuah negara jika ingin maju maka hendaklah manusia yang ada di dalamnya terdidik menjadi manusia matematis. Mulai dari pimpinannya, sehingga rakyat atau anak buahnya pun pasti akan mencontoh dirinya. Manusia matematis adalah manusia yang selalu mempertimbangkan baik buruknya suatu perbuatan. Manusia matematis adalah manusia yang selalu menghitung dengan sebenar-benarnya tentang setiap perbuatan dan perkataan yang di dalamnya terdapat kebaikan dan keburukan. Manusia matematis adalah manusia yang selalu dengan sadar apa yang harus dijumlahkan, dikurangi, dibagikan, dan terkahir dikali-kalikan.

Ketika berbicara masalah matematika kehidupan, ada baiknya kita mempelajari bagian dari matematika keilmuan, yaitu bilangan prima. Bilangan prima merupakan bilangan yang hanya memiliki dua faktor, yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Jika kita hubungkan dengan diri kita selaku manusia matematis, maka manusia prima adalah manusia yang hanya memiliki dua jalan atau permasalahan, yaitu Tuhan (1) dan manusia itu sendiri. Artinya, jika menemukan berbagai masalah dalam kehidupan, maka yang dicari adalah Tuhan dan selalu mengintrospeksi dirinya selaku manusia tempatnya salah dan kekhilafan.

Teringat puisi H. Taufiq Ismail, Sebenarnya kita tidak punya apa-apa. Semua ini titipan saja. Badan kita, nyawa kita, istri kita, suami kita, anak kita, harta kita, jabatan, tabungan, tanah dan rumah. Semua ini titipan saja.

Semua yang terdapat pada bait-bait awal puisi di atas merupakan hak kita yang Allah titipkan atas perjuangan dan mungkin jerih payah kita. Satu pertanyaan yang harus kita sinkronkan dengan matematika bilangan prima, apakah titipan itu sudah kita syukuri kepada Tuhan (1) dan menjaganya dengan penuh pengorbanan?

Karena bagaimanapun semua yang tersebut di atas, akan kembali lagi kepada Tuhan (1) untuk kita pertanggungjawabkan kelak. Suatu hari barang titipan harus dikembalikan. Yang punya (Tuhan) tidak bilang kapan. Kita saja yang (harus) rapi menyiapkan. Malam ini, minggu depan, tahun depan, pokoknya harus dikembalikan. Demikian akhir dari puisi yang berjudul “Barang Titipan” tersebut.

Akhirnya, marilah kita menyadari akan kehidupan kita yang selalu saja bangga dengan harta, jabatan, dan keindahan rupa kita. Padahal, belum tentu apa yang kita banggakan tersebut benar-benar mendatangkan kebanggaan dari Allah, Tuhan yang memberikan kita titipan. Jangan sampai kita termasuk menjadi manusia yang hanya pandai berjuang, sementara syukur kepada yang memberi titipan terlupakan…

Lombok Post, 2012

Hakikat Kita Selaku Manusia


HAKIKAT KITA SEBAGAI MANUSIA

Oleh : Usman Jayadi

Dalam suasana kemajuan sains dan teknologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kemanusiaan menjadi semakin aktual untuk dikaji. Urgensi kajian ini lebih terasa lagi setelah disadari bahwa pengetahuan kita sendiri tentang hakikat kita sebagai manusia masih sangat terbatas. Keterbatasan pengetahuan tersebut disebabkan multikompleksnya permasalahan manusia. Selain itu, manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang dihembuskan roh ciptaan Allah ke dalam dirinya.

Persoalan roh adalah urusan Tuhan, sementara manusia hanya diberikan sedikit pengetahuan tentang hal itu. Kita hanya mengetahui yang bersifat lahiriah saja, tidak menjangkau hal-hal yang berisifat immaterial dan dimensi spiritual dari manusia. Oleh karena itu, tulisan kali ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan: Siapa manusia itu? Dan untuk apa manusia diciptakan? Tulisan ini terinspirasi dari berbagai sumber ilmu tasawuf yang membahas dengan rinci akan hakikat manusia dan kemanusiaan, yang mudah-mudahan isi dari tulisan ini dapat jadikan sebagai syarat untuk mengkaji siapa diri kita sebenarnya.


HAKIKAT MANUSIA
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah mengemukakan jawaban yang bervariasi tentang manusia. Pandangan ahli Ilmu Mantiq (Logika) menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir, ahli Antropologi Budaya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk budaya (homo sapiens), Sosiolog berpendapat, manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), kaum agamawan mengatakan manusia adalah makhluk yang senantiasa bergantung kepada kekuatan ‘Supranatural’ yang ada di luar dirinya, dan kaum komunis berpandangan bahwa manusia adalah makhluk biologis dan ekonomis.

Menurut golongan yang terakhir ini, manusia sebagai makhluk biologis, yang diutamakan adalah unsur materi, karena itu Tuhan yang bersifat immaterial (transenden) dan agama adalah candu masyarakat. Adapaun manusia sebagai makhluk ekonomis (homo economicus) maka faktor kerja dan produksilah yang merupakan hakikat manusia.

Pandangan yang dikemukakan di atas hanya memberikan gambaran sebagian dari potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia, dan belum memberikan gambaran secara utuh siapa sesungguhnya yang dimaksud manusia.

Al-Qur’an berbicara tentang manusia dimulai dari QS. al-`Alaq, surah yang pertama diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surah itu, Allah tiga kali menyebut kata al-Insan (manusia), yang mencerminkan gambaran umum tentang manusia; pertama, bahwa manusia tercipta dari `alaq (segumpal darah); kedua, bahwa hanya manusia yang dikaruniai ilmu; dan ketiga, bahwa manusia memiliki sifat sombong yang bisa menyebabkan lupa kepada sang Pencipta.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Karakter umum manusia pada surah yang pertama ini diperjelas dan dirinci pada surah-surah yang turun kemudian, seperti QS. al-Muminun: 12-14

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Kemudia Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”

Allah sengaja berulangkali mengungkapkan bahwa manusia tercipta dari tanah, air yang memancar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, dari segumpal darah, dan seterusnya, dengan tujuan untuk mengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaannya, dan agar manusia tidak arogan dan sombong, melebihi kemampuannya. Karena, dari asal kejadian yang bersifat material inilah manusia cenderung berprilaku dan memilki sifat-sifat rendah, antara lain:

1. Melampaui batas

2. Bersifat tergesa-gesa,

3. Suka berkeluh kesah,

4. Suka membantah

5. Ingkar dan tidak berterima kasih kepada Tuhan

Apabila manusia memperturutkan prilaku dari sifat-sifat di atas maka ia akan semakin jauh dari hakikat kemanusiaannya.

Al-Qur’an, di samping menunjukkan sifat-sifat kelemahan yang dimiliki manusia, yang dapat meruntuhkan derajat kemanusiaannya ke tempat yang rendah dan tercela, juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan kemampuan untuk menempati tempat yang tertinggi dan terpuji di antara makhluk ciptaan Allah.


UNTUK APA MANUSIA DICIPTAKAN?
Manusia diciptakan bukan untuk hidup sekehendaknya, bukan pula untuk makan, hura-hura, dan mencari kebebasan tanpa batas. Tujuan hidup manusia adalah untuk mendapatkan ridha Allah (mardhatillah), sebagaimana pernyataan Allah dalam QS. al-An`am: 162

“Katakanlah,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam”.

Dalam mencari ridha Allah, manusia diwajibkan untuk menghambakan diri kepada-Nya dalam segala aktivitas yang dilakukannya. Tugas suci inilah yang disebut ibadah dalam pengertian umum dan sekaligus sebagai tujuan diciptakannya manusia. QS. adz-Dzariyat: 56 menyebutkan:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Dalam mengemban tugas pengabdian, manusia diberi peran oleh Allah swt. sebagai khalifah di muka bumi ini. Peran kekhalifahan ini dalam rangka memelihara, melestarikan dan memakmurkan jagad raya ini.

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”. (QS. al-An`am: 165)

Dengan demikian, hakikat manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah yang memilki 2 (dua) dimensi; dimensi meterial dan dimensi spiritual. Dengan dimensi material (tanah), manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seksual, dan sebagainya. Dimensi ini mengantar manusia ke alam kehidupan yang kurang bermakna, cenderung menjadi makhluk yang amat aniaya, ingkar nikmat, banyak membangkang, tidak sabar, dan bersifat keluh-kesah. Sebaliknya, dengan dimensi spiritual (roh) , manusia diantar untuk cenderung kepada keindahan, kebenaran, pengorbanan, kesetiaan, penghambaan kepada Allah, dan sebagainya. Dimensi ini membawa manusia kepada suatu realitas mengaktualkan posisinya sebagai `abid (hamba) dan khalifah menuju kepada Yang Maha Sempurna.

Dengan memenuhi kebutuhan hidup manusia berdasarkan pada kedua dimensi tersebut sesuai dengan petunjuk Ilahi, maka manusia akan menemukan hakikat kemanusiaannya.

*Dikutip dari berbagai sumber

(Lombok Post, 2012)